Batman juga manusia, semua bisa jadi superhero

Batman juga manusia, semua bisa jadi superhero

oleh : Hermawan Kartajaya

Anda sudah nonton The Dark Night Rises?
Terus terang saya mereview kembali Batman Begins dan The Dark Knight setelah ada penembakan brutal saat diputar midnight show seri penutup Batman-nya Christopher Nolan itu.
Saya ingin tahu, kenapa ada orang yang segila James Eagan Holmes yang masih berusia 24 tahun hingga tega menembaki orang yang sedang asyik nonton film?
Tampaknya, saya menemukan jawabannya dalam Batman 2.

Heath Ledgger sendiri mengatakan bahwa dirinya sangat menyukai peran sebagai The JOker yang merupakan musuh berat Batman. Dia mendapat lebih dari 30 penghargaan untuk karakter yang menakutkan dan menjijikkan tersebut. Dan karena peran yang dijiwai itulah The Dark Knight memecahkan rekor box office di tahun 2008.

Ironisnya, Heath Ledger meninggal beberapa bulan kemudian dan diduga kuat karena bunuh diri. Christian Bale, si Batman, sangat berduka atas kematian lawan mainnya yang dia puji sebagai aktor hebat tersebut.

James, di Jagal Manusia nan sadis itu konon juga sangat terinspirasi The Joker yang begitu gigih melawan sang superhero. Mungkin saja masih ada James-James yang lain diantara penonton Batman 2 selain yang mengidolakan segala macam aksi dan peralatannya. Bukankah manusia selalu mempunyai sisi gelap alias the dark side yang bisa diredam dengan aturan-aturan dalam agama, norma-norma sosial, hukum, dan kontrol sosial lain supaya tidak menjadi aksi negatif?

Christopher Nolan berhasil melakukan Batman Revival karena, terutama dalam Batman 1, menggambarkan bahwa seorang superhero itu ya asalnya dari manusia biasa. Bruce Wayne adalah seorang bocah anak keluarga billionaire yang tidak bisa tinggal diam melihat kejahatan, ketidakadilan, serta praktek-praktek korupsi di Gotham City. Sebelum menjadi Batman, Bruce Wayne pun harus menghilangkan ketakutanny. Sifat manusiawi bukan? Bahkan dalam Batman 2, Bruce Wayne bisa juga jatuh cinta, patah hati, serta putus asa. Sang Sutradara sukses membuat para penonton jadi care terhadap superhero Batman dan Bruce Wayne dengan human spirit nya. Penonton tidak hanya dibikin kagum, tapi juga sayang bahkan peduli pada kedua tokoh fiktif tersebut.

Karakter superhero masuk dalam Bruce Wayne, sedangkan human-spirit Bruce masuk ke dalam Batman. Di sisi lain yang negatif, tentu saja karakter Joker masuk ke Heath Ledger dan human-spirit Heath Ledger masuk ke Joker.

Dalam Batman 3, Bruce yang sudah pensiun dan bahkan harus memakai tongkat selama 8 tahun terpaksa menjadi superhero lagi setelah muncul teroris Bane. Yang tak kalah menarik adalah adegan akhir Batman 3. Bruce, kayaknya, mau pensiun dan pacaran sama si Selina Kyle. Sementara itu, polisi muda John Blake yang diperankan Joseph Gordon-Levitt tertarik menjadi Batman.

Wow, lantas, kesimpulan trilogi Nolan ini?

Semua orang bisa jadi Batman!

Inti buku kelima saya dengan Profesor Philip Kotler dan Iwan Setiawan terbitan John Wiley adalah Marketing 3.0 : From Product to Customer to Human Spirit. Konsep yang saya kembangkan di MarkPlus Inc mulai lima tahun lalu selalu mengingatkan para marketer bahwa dunia senantiasa terus bergeser.

Kalau Batman hanya dibuat untuk menyenangkan penonton selaku customer dengan menampilkan aksi-aksi heroik, ribut, dan mendebarkan, nanti pasti tidak laku keras lagi.

Saya sendiri mulai memikirkan konsep buku saya yang sekarang sudah diterjemahkan ke dalam 23 bahasa itu, ketika umur saya menjelang 60 tahun kira-kira lima tahun yang lalu. Sejak menjadi best-seller, saya langsung pontang-panting melayani undangan untuk menjadi pembicara tentang konsep tersebut hingga ke berbagai kota di luar negeri.

Kini sudah ada museum Marketing 3.0 di kompleks museum Puri Lukisan di Ubud, Bali, atas kebaikan keluarga Kerajaan Ubud. Diresmikan oleh tiga Tjokorda dari Puri Ubud pas hari ulang tahun ke-80 Profesor Philip Kotler pada 27 Mei 2011.
Tentunya, baik dalam buku maupun dalam museum, tidak ada contoh Batman sebagai Film 3.0 yang sukses besar, termasuk segala macam kontroversinya. Artinya brand apapun, apakah itu brand sebuah produk atau korporasi, juga harus menjadi "manusia" dengan spiritnya seperti Batman-nya Nolan.

Kalau Batman bisa menjadi manusia biasa dan manusia biasa bisa menjadi Batman, kenapa sebuah brand tidak bisa? Itu bertujuan agar sebuah brand bisa dipedulikan oleh customer. Nah, kalau itu bisa terjadi, sebuah brand pasti akan sukses. Hal itu memang sangat berbeda bahkan sering bertentangan dengan konsep pemasaran tradisional. Tapi, buktinya, sebagai konsep, ia diterima di berbagai belahan dunia. Itu juga membuktikan bahwa era internet yang menggila sekarang ini memang telah mengubah customer, mengubah peta persaingan, dan akhirnya mengubah marketing itu sendiri.

Bagaimana pendapat anda?

(disalin dari artikel Jawa Pos, Selasa, 14 Agustus 2012)

No comments:

Post a Comment